Orang yang paling dekat dengan Nabi di hari kiamat
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ
وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ
أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ
وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا
الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ
الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya orang yang
paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya
denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya. Dan
orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat
kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun.” Sahabat
berkata: “Ya Rasulullah… kami sudah tahu arti tsartsarun dan
mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiquun?” Beliau menjawab, “Orang
yang sombong.” (HR. Tirmidzi, ia berkata ‘hadits ini hasan gharib’. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi)
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan
bahwa orang yang paling dekat dengan beliau adalah orang-orang yang
paling baik akhlaknya. Maka apabila akhlak Anda semakin mulia niscaya
kedudukan anda di hari kiamat kelak akan semakin dekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan selain Anda. Sedangkan orang yang terjauh posisinya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun (Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 396-397)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa makna tsartsarun adalah
orang yang banyak bicara dan suka menyerobot pembicaraan orang lain.
Apabila dia duduk ngobrol dalam suatu majelis dia sering menyerobot
pembicaraan orang lain, sehingga seolah-olah tidak boleh ada yang bicara
dalam majelis itu selain dia. Dia berbicara tanpa membiarkan orang lain
leluasa berkata-kata. Perbuatan seperti ini tidak diragukan lagi
termasuk kesombongan. Yang dimaksud majelis dalam konteks ini adalah
pembicaraan-pembicaraan sehari-hari bukan majelis ilmu atau pengajian,
sebab jika suatu saat Anda mendapat kesempatan untuk memberikan nasihat
atau mengisi kajian di depan mereka lalu Anda sendirian yang lebih
banyak berbicara maka hal ini tidaklah mengapa (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 397)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa makna mutasyaddiqun adalah
orang yang suka berbicara dengan gaya bicara yang meremehkan orang lain
seolah-olah dia adalah orang paling fasih, itu dilakukannya karena
kesombongan dan bangga diri yang berlebihan. Seperti contohnya berbicara
dengan menggunakan bahasa Arab di hadapan orang-orang awam, sebab
kebanyakan orang awam tidak paham bahasa Arab. Seandainya Anda mengajak
bicara mereka dengan bahasa Arab maka tentulah hal itu terhitung sikap
berlebihan dan memaksa-maksakan dalam pembicaraan. Adapun jika Anda
sedang mengajar di hadapan para penuntut ilmu maka biasakanlah berbicara
dengan bahasa Arab dalam rangka mendidik dan melatih mereka agar
sanggup berbicara dengan bahasa Arab. Adapun terhadap orang awam maka
tidak selayaknya Anda berbicara dengan mereka dengan bahasa Arab, tetapi
bicaralah dengan mereka dengan bahasa yang mereka pahami dan jangan
banyak memakai istilah-istilah asing, artinya janganlah Anda menggunakan
kata-kata asing yang sulit mereka mengerti, karena hal itu termasuk
berlebihan dan angkuh dalam pembicaraan (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 397)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan makna mutafaihiqun: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menerangkannya yaitu orang-orang yang sombong. Orang sombong ini
bersikap angkuh di hadapan orang-orang. Jika berdiri untuk berjalan
seolah-olah dia berjalan di atas helaian daun (dengan langkah kaki yang
dibuat-buat –pent) karena adanya kesombongan di dalam dirinya. Perilaku
ini tak diragukan lagi termasuk akhlak yang sangat tercela, wajib bagi
setiap orang untuk menghindarinya. Karena yang namanya orang tetap saja
manusia biasa, maka hendaklah dia mengerti ukuran dirinya sendiri.
Meskipun dia telah dikaruniai sekian banyak harta, kedalaman ilmu atau
kedudukan yang tinggi oleh Allah, seyogyanya dia merendahkan diri
(tawadhu’). Sikap tawadhu’ orang-orang yang telah mendapat anugerah
harta, ilmu, atau kedudukan tentu lebih utama nilainya daripada
tawadhu’nya orang-orang yang tidak seperti mereka. Oleh sebab itu
terdapat dalam sebuah hadits yang memberitakan orang-orang yang tidak
akan diajak bicara oleh Allah dan tidak disucikan-Nya pada hari kiamat,
diantara mereka adalah: “Orang miskin yang sombong” Sebab orang
miskin tidak mempunyai faktor pendorong (modal) untuk sombong…. Sudah
semestinya orang-orang yang diberi anugerah nikmat oleh Allah semakin
meningkatkan syukurnya kepada Allah serta semakin tambah tawadhu’ kepada
sesama, semoga Allah memberikan taufiq kepada saya dan seluruh umat
Islam untuk memiliki akhlak yang mulia dan amal yang baik, dan semoga
Allah menjauhkan kita dari akhlak-akhlak yang buruk dan amal-amal yang
jelek, sesungguhnya Dia Maha dermawan lagi Maha mulia (lihat Syarah Riyadhush Shalihin, hal. 397-398)
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar